Posted by : Unknown
Friday, 19 February 2016
Senyum Dan Tawa Menurut Al-Qur’an
- Senyum Dan Tawa Menurut Al-Qur’an
Di antara tanda kebesaran Allah adalah, bahwa Dia memberikan potensi kepada manusia secara berpasangan. Manusia diberi potensi untuk bisa marah pada saat dan kondisi tertentu, namun juga memiliki potensi kasih sayang dan penuh kelembutan pada waktu dan kondisi yang lain. Begitu juga, manusia memiliki kemampuan untuk bisa menangis dan mengeluarkan air matanya pada suatu kondisi, namun pada situsi dan kondisi lainnya manusia juga bisa tersenyum dan tertawa, begitulah seterusnya.
Senyum dan tawa sebagai suatu potensi dan kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia, mestilah dipergunakan sesuai maksud Sang Pemberi itu sendiri. Jika tidak, maka tentulah senyum dan tawa yang dilakukan manusia akan menjadi sesuatu yang dicela oleh Allah. Sebab, adakalanya tersenyum dan tertawa itu merupakan ibadah dan mendapat pujian Allah, akan tetapi sebaliknya, tersenyum dan tertawa juga bisa menjadi bagian dari dosa jika tidak menurut tujuan Allah memberikan potensi tersebut.
Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang sempurna, juga memberikan pembicaraan khusus persoalan tersenyum dan tertawa yang baik dan dipuji Allah serta bentuk tertawa yang buruk dan dicela oelh Allah. Di antaranya adalah;
Pertama, tersenyum dan tertawa dengan maksud mencemooh dan melecehkan orang lain. Ini adalah bentuk senyum dan tawa yang dicela oleh Allah, dan termasuk salah satu bentuk dosa, baik kepada Allah maupun terhadap sesama. Hal itu disebutkan Allah dalam surat az-Zukhruf [43]: 47, ketika Fir’aun dan kaumnya mencemooh dan melecehkan nabi Musa as.
فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِآيَاتِنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَضْحَكُونَ
Artinya: “Maka tatkala dia (Musa) datang kepada mereka dengan membawa mu`jizat-mu`jizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya.”
Seringkali dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita menemui atau menghadapi seseorang, apalagi jika orang lain itu kita anggap kedudukannya lebih rendah, maka kadang kita tersenyum dengan senyum penuh ejekan atau tertawa dengan meksud mencemooh keadaannya. Senyum dan tawa seperti itu adalah bagian dari dosa. Karena, orang yang tersenyum dan tertawa dengan maksud seperti itu adalah orang yang angkuh dan sombong serta dicela oleh Allah.
Kedua, tersenyum dan tertawa dengan maksud merendahkan atau mengolok-olok orang lain. Kalau yang pertama, senyum dan tertawa dengan maksud mencemooh atau melecehkan, sekalipun yang mencemooh menyadari bahwa kedudukan belum tentu lebih tinggi dari yang dicemooh atau yang dilecehkan. Sementara yang kedua, senyum dan tertawa dilakukan di maksudkan untuk merendahkan dan memperolok orang lain, yang kedudukannya dianggap lebih rendah dari yang mentertawakan. Inilah salah satu bentuk tersenyum atau tertawa yang dilarang oleh Allah. Hal itu seperti disebutkan dalam surat al-Muthaffifin [83]: 29
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.”
Orang-orang yang kafir (Quraiys) mentertawakan orang-orang mukmin, karena mereka menganggap bahwa kedudukan mereka lebih tinggi dan terhormat dari orang beriman, yang ketika itu masih sedikit dan sangat lemah. Kondisi mereka ini nanti berbeda dengan orang Mukmin di akhirat, di mana orang-orang mukmin berada di tempat dan derajat yang tinggi, sementara orang kafir berada di tempat dan derajat yang rendah dan hina. Sehingga, orang-orang beriman balik mentertawakan mereka, seperti yang terdapat dalam surat al-Muthffifin [63]: 34
فَالْيَوْمَ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ
Artinya: “Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir.
Ketiga, tersenyum dan tertawa saat seseorang memberikan nasehat dan pengajaran. Tersenyum dan tertawa di saat seseorang memberikan nasehat dan pengajaran adalah sesuatu yang buruk dan dicela oleh Allah. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat at-Taubah [9]: 81-82
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ(81)فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(82)
Artinya: “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)", jikalau mereka mengetahui (81). Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan (82).”
Dalam ayat di atas menjelasakan bahawa Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad untuk memperingatkan orang-orang munafik bahwa panasnya api neraka mengatasi segalanya. Ketika itu, Allah mengaitkan dengan perintah sedikit tertawa dan banyak menangis. Hal itu berarti, bahwa ketika seseorang diberikan pengajaran, hendaklah dia memperhatikan dengan seksama dan tidak banyak bercanda, tersenyum ataupun tertawa kecuali seperlu dan sekedarnya saja. Jika tidak demikian, tertawa di saat seperti itu bukan hanya sekedar menggangu proses belajar dan mengajar, akan tetapi akan membuat sang pemberi nasehat atau pengajar tersinggung dan merasa dilecehkan. Sehingga, semuanya akan menjadi hal yang sia-sia dan tidak akan ada manfaatnya.
Keempat, tersenyum dan tertawa karena merasa heran terhadap sesuatu. Senyum dan tawa seperti ini, adalah senyum dan tawa yang tidak dilarang oleh Allah. Di mana, ketika seseorang merasa sangat heran atas sesuatu hal atau peristiwa dan merasa sesuatu itu di luar jangkauan akal sehatnnya, lalu dia tersenyum atau tertawa, maka hal itu adalah sesuatu yang dibolehkan oleh Allah. Tidaklah ada celaan Allah terhadap tertawa seperti ini. Sama seperti tertawanya sayidah Sarah isteri Ibrahim as. ketika malaikat memberitahukan kepada Ibarahim bahwa isterinya yang sudah lanjut usia itu akan hamil dan melahirkan. Hal itu disebutkan Allah dalam surat Hud [11]: 71-72
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ(71)قَالَتْ يَاوَيْلَتَى ءَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ(72)
Artinya: “Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya`qub (71). Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh( 72).”
Ketika diberitahukan bahwa dia akan hamil dan melahirkan seorang anak, Sarah tersenyum dan tertawa karena merasa hal itu adalah sesuatu yang mengherankan dan tidak masuk akal. Betapa tidak, kondisi fisiknya yang sudah tua dan lemah serta mandul, bagaimana mungkin bisa hamil dan melahirkan. Keheranannya itulah yang membuat dia tersenyum dan tertawa. Akan tetapi, senyum dan tawa itu bukanlah sesuatu yang dicela oleh Allah, sepangjang senyum dan tawanya tidak sampai ke tingkat mengingkari atau bahkan melecehkan.
Kelima, tersenyum dan tertawa karena kagum terhadap sesuatu. Perasaan kagum dan heran walaupun seringkali dipersamakan sebagian orang, namun sedikit memiliki perbedaan. Perasaan heran timbul jika seseorang menemui suatu kenyataan yang berada di luar jangkauan akal sehatnya. Dia berkeyakinan bahwa hal itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi, namun kenyataannya terjadi. Berbeda dengan perasaan kagum, di mana ia timbul karena hebat dan agungnya sesuatu. Seseorang merasakan sesuatu itu adalah hal yang besar dan agung, dan bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Seperti kekaguman nabi Sulaiman as. terhadap seekor ratu semut yang sangat mempedulikan dan mengutamakan keselamatan rakyatnya, sehingga sang ratu memerintahkan rakyatnya terlebih dahulu memasuki sarang atau rumah mereka agar tidak binasa terinjak Sulaiman dan tentaranya. Sikap yang dimiliki pemimpin semut ini membuat sulaiman kagum, sehingga dia tertawa sambil memuji kebesaran Allah. Sebagaiman dalam firman-Nya surat an-Naml [27]: 19
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Keenam, tersenyum dan tertawa karena gembira atau senang. Senyum dan tertawa seperti ini adalah suatu yang sudah menjadi fitrah manusia. Jika memperoleh nikmat berupa kesenangan, tentulah semua manusia akan tersenyum dan tertawa, dengan wajah yang berseri-seri dan mata yang berkaca-kaca. Bahkan, tertawanya sampai meneteskan air mata, karena merasakan keharuan. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ‘Abasa [80]: 38-39
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ(38)ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ(39)
Artinya: “Banyak muka pada hari itu berseri-seri (38) Tertawa dan gembira ria (39)”.
Ini adalah senyum dan tawa yang dibenarkan dan dipuji oleh Allah, sepanjang tidak melewati batas kewajaran. Sebab, apapun perbuatan yang dibolehkan Allah, jika dilakukan secara berlebihan dan melampaui batas kewajarannya, tentulah akan menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya. Di samping hal yang berlebihan adalah seuatu yang amat dibenci oleh Allah.
Sumber klik Disini